YayasanKyai Haji Yahya Syabrawi Ganjaran Gondanglegi Malang - Perusahaan Indonesia dengan nomor registrasi 104/36350 /AD diterbitkan pada tahun 2014. Merupakan ulama yang namanya sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia yang hidup di perempat terakhir abad ke-20, khususnya bagi warga Nahdliyyin. Tokoh ini pernah memegang jabatan puncak pada Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, sebagai Rais Am Pengurus Besar Syuriyah, yang merupakan pengendali organisasi Islam terbesar di Indonesia itu. Pengaruh Kiai Ali Ma’sum bukan saja dikarenakan beliau secara formal pernah menduduki jabatan strategis dalam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, tetapi juga karena kedalaman ilmunya dan peran yang diambilnya, baik dalam dunia keilmuan, spiritual maupun kemasyarakatan. Dari sinilah lahir kharisma sebagaimana layaknya dimiliki oleh ulama-ulama besar lainnya. Ali bin Ma’sum dilahirkan tanggal 2 Maret 1915 di Soditan, Lasem, Kabupaten Rembang pantai utara Jawa Tengah, Ali Ma’sum merupakan putera pertama dari hasil perkawinan Kyai Haji Ma’sum yang lebih popular dengan Mbah Ma’sum dengan Nuriyah binti Kyai Muhammad Zein. Mbah Ma’sum adalah pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren al-Hidayat, Kampung Soditan, kota Lasem, Kabupaten Rembang. Sebagai putra seorang kyai pengasuh pesantren, Ali Ma’sum tentu saja mendapatkan pendidikan ilmu-ilmu keislaman yang cukup sejak masa kanak-kanaknya. Walau sebagai putra kyai yang sering dipanggil Gus, Ali Maksum tidak hanya menyandarkan diri pada charisma ayahandanya. Seorang Gus harus belajar giat sebagaimana santri lainnya, apalagi beliau sebagai calon kyai pengganti ayahnya setelah dewasa nantinya. Ali Maksum belajar kepada ayahnya sendiri dan santri-santri senior di Pesantren al-Hidayat. Beliau juga belajar kepada ulama-ulama di kampong halamannya, yang masih tergolong kaum kerabatnya. Lasem memang terkenal sebagai salah satu kota pantai utara Jawa yang mempunyai banyak ulama pesantren. Kemudian setelah menjelang akil baligh Ali Maksum mulai belajar ke pesantren yang lebih jauh. Beliau pernah nyantri kepada kyai Amir di Pekalongan, kemudian berangkat ke pesantren Termas, Kabupaten Pacitan, berguru kepada Kyai Dimyati, sekitar tahun 1927. Pesantren Termas, Pacitan tersohor karena salah seorang tokohnya menjadi ulama besar di tanah suci Mekah, ahli hadits yang sulit tandingannya pada akhir abad ke-19 hingga perempat pertama abad ke-20. Beliaulah syeikh Mahfudz at-Tarmisi yang tak lain kakak kandung Kyai Dimyati bin Abdullah yang memimpin Pesantren Termas ketika Ali Maksum mondok di sana. Sekitar 8 tahun Ali Maksum belajar di pesantren Termas, bahkan sempat menjadi ustadz di Pondok Pesantren itu. Ketika menjadi santri di Termas, tampak sekali kecemerlangan otak kyai muda asal Lasem itu, sehingga Kyai Dimyati memberikan restu kepada Kyai Ali Maksum yang baru menginjak usia 20 tahunan itu untuk mendirikan madrasah diniyah di kompleks pondok. Kyai Ali Maksum menjadi pendiri sekaligus kepala madrasah tersebut, dibantu anak buahnya bekas santrinya, seperti Abdul Mu’thi Ali sebagai wakil kepala madrasahnya. Nama terakhir ini kelak menjadi Menteri agama Republik Indonesia 1971-1978. Dengan berdirinya madrasah yang menggunakan sistem kalsikal di tengah-tengah pesantren yang bersistem halaqah tersebut, menunjukkan bahwa Kyai Ali Maksum adalah pembaharu di Pesantren Termas. Murid Kyai Ali Maksum sewaktu di Termas banyak sekali, di antaranya KH. Azhar Basyir yang pernah menjadi Ketua Umum Muhammaddiyah. Rintisan Kyai Ali Maksum di Pesantren Termas, Pacitan tetap berjalan hingga kini, diteruskan oleh para penggantinya. Setelah delapan tahunan mondok di Pesantren Termas sambil menjadi Kepala Madrasah di sana, Kyai Ali Maksum pulang ke kampong halamanny. Kepulangan ulama muda ini memang diharapkan oleh ayahandanya untuk membant mengajar dan mengembangkan pesantren al-Hidayat, Lasem. Menginjak usia 23 tahun, Kyai Ali Maksum dinikahkan dengan Raden Rara Hasyimah, puteri Kyai Haji Raden Munawir dari Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kyai Munawir merupakan ulama ahli Ulumul Qur’an yang terkenal dan masih termasuk kalangan bangsawan keratin Yogyakarta Ngayogjakartohadiningrat. Ulama besar ini merupakan saudara kandung KYai Mudzakir ayahanda Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakir, tokoh MUhammaddiyah yang terkenal dan pernah menjadi anggota Panitia Sembilan dalam bidang penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, bersama Ir. Sukarno, Drs. Muhammad Hatta, Kyai Wahid Hasyim dan lain sebagainya. Setelah perkawinan antara kedua insan yang belum banyak kenal sebelumnya itu, Kyai Ali Maksum tetap melaksanakan niatnya untuk belajar ke tanah suci Mekah. Beliau berangkat naik haji ke tanah suci 1938 dan menetap di sana selama dua tahun, untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman yang telah didapatkannya selama ini. sepulang dari tanah suci Kyai Ali MAksum yang telah menjadi ulama muda itu, semakin tampak kehebatannya, sebagai ulama intelektual yang brilian. Beliau memang terkenal sebagai ulama fikih, tetapi ahli juga dalam bidang tasawuf. Seorang hafidz yang memang benar-benar menguasai ulum al-qur’an termasuk qira’ah sab’ah serta ilmu-ilmu lain yang berkaitan. Seusai belajar dari tanah suci, Kyai Ali pulang ke Lasem, tidak lama kemudian beliau harus menetap di Krapyak karena mertuanya, Kyai Haji Munawir, wafat sekitar 1941, sedangkan putra-putra Kyai Munawir sebagian besar belum dewasa dan pesantren itu memang memerlukan kehadirannya sebagai sosok ulama yang benar-benar mempunyai jangkauan dan wawasan jauh ke depan. Sejak itulah Kyai Haji Ali Maksum menetap di Krapyak dan menjadi pengasuh utama pesantren itu hingga akhir hayatnya. Sebagai pesantren yang berada di pinggiran kota besar sekaligus kota pelajar, Krapyak yang asal mulanya sebagai pesantren salafiyah, berkembang menjadi pesantren modern walau tidak mungkin meninggalkan pembaharuan-pembaharuan di Pesantren Krapyak, walau cirri khas pesantren salafiyah tetap dipertahankan. Pesantren Krapyak dikembangkan sesuai dengan alur yang dirintis oleh Kyai Munawir, sebagai Pesantren Al-Qur’an. Kyai Ali Maksum, sebagaimana mertuanya, terkenal sebagai ahli tafsir, sehingga tepatlah beliau memimpin pesantren ini. beliau mengasuh Pesantren al-Munawwiriyah, Krapyak bersama saudara-saudara iparnya seperti Kyai Abdul Kadir Munawir, Kyai Warson Munawir, Zainal Abidin Munawir, dan lain sebagainya. Di samping pesantren al-Qur’an, Krapyak kemudian juga berkembang sebagai pesantren yang mempunyai tipe perkotaan, dalam arti pesantren yang berusaha untuk mensantrikan calon sarjana atau mengulamakan calon intelektual muslim. Tipe yang demikian tidak ubahnya dengan pesantren di wilayah perkotaan atau pinggiran kota, dimana santrinya banyak juga merangkap di sekolah umum ataupun kuliyah di perguruan Tinggi di luar pesantren. Mereka adalah calon-calon intelektual yang harus diisi sedemikian rupa tentang ilmu-ilmu keislaman, agar kelak menjadi intelektual muslim yang kuat memegang agamanya. Berarti Pesantren Krapyak di samping mencetak ulama-ulama ahli ilmu al-Qur’an, juga mencetak ulama-ulama intelektual atau paling tidak intelektual santri. Nama Kyai Haji Ali Maksum di kalangan masyarakat sudah tidak asing lagi, karena peran yang diambilnya di berbagai sector, sebagai ulama intelek, sebagai ilmuwan, seagai tokoh organisasi Islam maupun sebagai pemimpin pada umumnya. Di kalangan intelektual dan dunia kampus, Kyai Haji Ali Maksum dikenal sebagai dosen ilmu tafsir yang benar-benar ahli dalam bidangnya dan berpandangan luas. Sebagai ulama ahli tafsir beliau termasuk salah seorang tim Lembaga Penyelenggara Penerjemahan Kitab Suci Al-Qur’an yang di bentuk Menteri Agama tahun 1962, bersama-sama KH. Anwar Musaddad, Prof Hasbi Assiddiqy dan lain sebagainya, yang diketuai Prof. RHA Sunaryo, SH., Rektor IAIN Sunan Kalijaga saat itu. Sebagai hasil kerja tim ini adalah Terjemah Kitab suci al-Qur’an 30 juz yang diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia. Di lingkungan pesantren, beliau dikenal sebagai ulama yang luas sekali ilmunya. Beliau adalah seorang ahli tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an, seorang ahli fikih, sebagai ahli bahasa Arab beserta ilmu alatnya, sebagai ulama yang menguasai berbagai macam kitab, baik yang menjadi rujukan ulama-ulama tradisional maupun ulama-ulama modernis, termasuk menguasai kamus Munjid, sehingga dijuluki Munjid berjalan. Beliau pulalah yang memimpin penyusunan kamus Bahasa Arab terkenal bernama kamus al-Munawir, dan dilaksanakan langsung oleh KH. Warson Munawir. Beliau sangat menguasai kitab-kitab rujukan ulama-ulama modernis, melebihi penguasaan dari ulama-ulama kelompok modernis itu sendiri, seperti kitab-kitab karangan ibn Taimiyah, ibn Qasim, Sayid kutub dan lain sebagainya. Di kalangan jam’iyyah Nahdlatul Ulama, beliau juga terkenal sebagai ulama yang berpengetahuan dan berwawasan luas dalam pengetahuan keislaman maupun kemasyarakatan. Beliau pernah menjadi anggota konstituante mewakili partai Nahdlatul Ulama setelah pemilu untuk lembaga itu, 15 Desember 1955 sampai lembaga pembuat konstitusi itu dibubarkan sesuai dekrit Presiden 5 juli 1959. Kyai Ali Maksum menduduki jabatan Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Yogyakarta selama bertahun-tahun sejak Indonesia merdeka hingga tahun 1981, ketika beliau diangkat sebagai pengganti antar waktu KH. Bisri Syansuri, Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu wafat 25 April 1980, sehingga Kyai Haji Anwar Musadda yang adalah wakil Rais Am saat itu kemudian menggantikan kedudukan Kyai Bisri Syansuri sebagai pejabat sementara. Berdasarkan Musyawarah Nasional Syuriyah NU di Kaliurang tahun 1981, Kyai Ali MAksum diangkat sebagai Rais Am sampai dengan Muktamar berikutnya. Pengangkatan ini disebabkan Kyai Ali Maksum, disamping telah memenuhi persyaratan khusus untuk jabatan Rais Am yakni sebagai penyatu pondok pesantren, sementara Prof. KH. Anwar Musadda belum memiliki Pondok Pesantren. Setelah pemilu 1982 terjadi perpecahan di dalam tubuh NU menjadi dua kubu, yakni kubu Cipete di bawah pimpinan KH. Dr. Idham Khalid dan kubu Situbondo di bawah KH. Ali Maksum dan KH. As’ad Syamsul Arifin. Perselisihan dua kubu ini berlangsung sampai dua tahun 1982-1984, walau akibat sampingnya masih terasa hingga satu dasawarsa. Setelah diselenggarakan Muktamar NU di Situbondo, 8-12 Desember 1984 Kyai Haji Ahmad Shiddiq terpilih sebagai Rais Am Pengurus Besar Syuriyah Nahdlatul Ulama, sedangkan Kyai Ali Maksum, Kyai Dr. Idham Khalid dan KH. As’ad Syamsul Arifin duduk dalam lembaga Musytasyar Penasehat PBNU beserta beberapa tokoh lainnya. Posisi Kyai Ahmad Shiddiq sebagai Rais Am dipertahankannya dalam Muktamar NU di Pesantren Krapyak, Yogyakarta Pesantren yang dipimpin Kyai Ali Maksum akhir Nopember 1989. Kyai Ali Maksum memang tipe seorang ilmuwan Islam atau ulama intelek, tetapi bukan tipe tokoh yang punya kemampuan komando imamah yang kuat sebagaimana Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Kyai Haji Wahab Hasbullah maupun Kyai Bisri Syansuri. Kyai Wahab maupun Kyai Bisri Syansuri mempunyai kemampuan komando terhadap Kyai Haji Idham Khalid yang menjadi Ketua Umum Tanfidziyah, sehingga KH. Idham Khalid manut kepada kedua ulama besar itu. Kyai Ali Maksum tidak memiliki kekuatan komando yang demikian, sehingga sulit mengendalikan KH. Idham Khalid, yang memang sudah terlanjur mempunyai pengaruh dan akar luar biasa di kalangan Nahdliyyin. Kharisma KH. Ali Maksum bukan terletak pada komandonya sebagai Rais Am Pengurus Besar Syuriyah Nahdlatul Ulama, tetapi terletak pada kedalaman ilmu dan wawasannya yang luas, serta wibawanya terhadap umat. Kaliber keulamaan Kyai Haji Ali Maksum tidak bisa diragukan lagi, beliau ulama besar bertaraf nasional. Pengakuan ini bukan saja datang dari kalangan Nahdliyyin, tetapi juga dari kalangan ulama-ulama pembaharu, khususnya Muhammadiyah maupun dari kalangan birokrat pusat maupun daerah. Ketika dilangsungkan Muktamar NU ke-28 di Pesantren Krapyak yang beliau pimpin, sebenarnya Kyai Ali Maksum sudah menderita sakit sejak beberapa saat sebelumnya. Beliau menemui Presiden Suharto ketika menjenguknya, dengan bertiduran di kamarnya yang sederhana, beberapa saat sebelum presiden membuka muktamar itu. Dari situ bisa di lihat bahwa walau dalam keadaan sakit dan berusia lanjut, beliau tetap berusaha menerima kehadiran muktamirin dari seluruh Indonesia, sebagaimana yang telah disepakati oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Seminggu setelah Muktamar selesai, masyarakat Islam, khususnya warga Nahdliyyin dikejutkan oleh berita duka yang datang dari Krapyak, Yogyakarta yang baru saja mengadakan hajat besar. Kyai Haji Ali Maksum wafat, menghadap panggilan Allah dalam usia 77 tahun, tepatnya tanggal 7 Desember 1989. Tentu saja warga Nahdliyyin dan segenap masyarakat Islam merasa kehilangan pemimpin spiritual yang berpengaruh. Walaupun beliau telah wafat, tetapi pengaruh ini akan tetap hidup di tengah-tengah masyarakat, sesuai dengan gerak langkah perkembangan Islam masa mendatang. Sumber H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Jakarta Gelegar Media Indonesia, 2010. Sumber Gambar santrinews
Ayahnyaadalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra. KH. Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah atau 27 Januari 1820 Masehi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langsung oleh ayah Beliau.
janv. 2020 • En coupleNous avons rencontré des singes, des biches, des cerfs, un varant, des kalaos, un anaconda, des traces d'éléphants, la forêt est magnifique, une belle le 4 février 2020Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de 2019 • En soloJe suis resté plusieurs jours dans le parc national de Khao Yai en Thaïlande pour photographier et découvrir la grande faune locale. L'accès y est relativement simple, en voiture, elle n'est pas loin de la gare. De nombreux animaux sont visibles sans forcément utiliser les chemins de randonnées macaques à queue de cochon, cerf sambar, cerf aboyeur, oiseaux, etc. La plupart sont peut craintifs et se laisse approcher facilement. Les photos sont très faciles à conseille de réaliser une randonnée avec un guide pour ne pas louper les serpents et autres animaux y a une grande diversité de paysages rivière, lac, forêt, plaine, colline, etc. Certaines partie du parc sont moins fréquenté et présente des arbres immenses et des paysages à couper le eu la chance, durant le 4em jour, d'avoir observé un éléphant sauvage, un grand moment. J'ai également observer un ours à collier, des gibbons, des varans malais, des calaos 3 espèces, guépiers, serpents, coqs dorés, écureuils géants, etc, n'ai eu aucun problème avec la pluie et les sangsues durant cette me déplacé en "STOP" et c'est trés simple dans le parc. Pour dormir, je suis allé au camping, de supers nuits avec les oiseaux, sambars et les macaques. Au matin, je me faisais réveiller par le cri du gibbon, celui du coq et par une biche qui essayait d'entrer dans ma tente. !!!NE LAISSEZ PAS VOTRE NOURRITURE DEHORS, ELLES N'HÉSITERONT PAS À VOUS LE VOLER ET DE S'ÉTOUFFER AVEC LE PLASTIQUE!!!le camping loue des tentes pour 15 euros la faire si vous venez en Thaïlande!Écrit le 20 octobre 2019Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de 2019 • En coupleSuper accueil de Cédric, parfaite organisation des 2 jours passés dans le parc de khao Yai. Les gardes forestiers nous ont fait découvrir les empreintes d ours, d éléphants. Nous avons vu des familles de gibbons, des kalaos et autres oiseaux, un éléphant superbe ! Nous étions accompagnés de Pim tres sympathique jeune fille qui maîtrise parfaitement le français et Dui -très agréable aussi ! De magnifiques souvenirs et des images pleins la tête! Merci à tous ! Agnès et BernardÉcrit le 15 septembre 2019Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de PParis, France85 contributionsjuin 2019 • Entre amisParc d'exception, vous y retrouvez une faune très varié. Attention beaucoup plus facile d'observer les animaux dans les zones de vie que en pleine forêt. Prendre un guide vous aidera beaucoup. La où il y à les photographes il y à les animaux. Écrit le 27 juin 2019Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de 2018 • Entre amisNous avons logés dans les bungalows décrepis à l'intérieur du parc à km à pied du visitor center. Attention, les activités commencent à 8am et les stands de nourriture et la supérette de chips ferment à 6pm pile... Après, la seule activité possible est un tour en pick up accompagnés d'un 'guide' qui illumine à la torche les biches sembar. Très bof comme activité. La journée on a fait un tour à la cascade trek numero 6 avec un guide pour 1000 baht mais il s'agissait en fait d'un monsieur ne parlant pas anglais qui nous a montré le chemin jusqu'à une cascade en fait accessible en voiture. Très quelconque malgré le fait d'avoir vu des crottes d'éléphants et les avoir entendu barrir. Bref. On a vu le plus d'animaux autour des bungalow macaque, porc epic, renard. On a entendu dire qu'il valait mieux loger à pak Chong et réserver une activité sur place avec des vrais guides parlant anglais. En tout cas, après un séjour en amozonie en equateur, cette jungle thailandaise nous a paru bien quelconque... Écrit le 21 novembre 2018Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de MBangkok, Thaïlande24 contributionsjuill. 2018L'endroit idéal pour découvrir la faune et la flore. Les bungalows à l'intérieur du parc sont très bien aménagés et permettent de vivre en harmonie avec la nature. Faites le safari de nuit, c'est magnifique. Il est préférable d'avoir un véhicule au sein du le 23 septembre 2018Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de 2018visiter un vrai parc naturel, cela change en Thaïlande où le tourisme de masse parfois, trop souvent en tout cas, prend le pas sur la nature, excursions possibles pas testées, sinon, avec une voiture de location et de bonnes chaussures, vous pouvez tout le 27 août 2018Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de 2018 • En familleNous avons fini notre séjour par le parc national de khaoyai, Je ne comprends pas les avis négatif sur ce parc magnifique, nous avons vraiment marché dans la jungle loin des gens et des voitures et avons vu beaucoup d' soucis de confort avec les enfants ont a opté pour une prestation en français avec "Les Collines khaoyai" . Je souligne l'acceuil aux collines qui est vraiment génial Pojana et ses petits pains le matin. Cédric et son équipe nous ont expliqué le fonctionnement du trek et l'on adapté à ma famille. Nous étions 4 et nous nous sommes vraiment senti en sécurité. Cédric est aux petits soins, il nous a remis des vestes et des guêtres pour marcher en sécurité et des fiches avec les animaux qu'on peut voir. Cédric est passionnés et connait bien la jungle. On a marché 11 kilomètres le premier jours et bivoiqué au milieu de nulle part avec nos sacs puis environ 7 kilomètres le deuxième jour mais les jeunes étaient fatigués et nous aussi pour tout dire . Nous avons vu vraiment beaucoup d'animaux .Nous avons eu la chance de voir un éléphant au loin dans la pleine. le matin on a puis voir un troupeau de gaur au loin également, des calao, biches, des gibbons, un scolopendre, des empreintes d'ours et de panthère Bref s'etatit génial. Je recommande vraiment ce parc, mais c'est sur que pour voir des animaux il faut partir avec des guides .Écrit le 18 avril 2018Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de 2018 • En solovisite du parc dans un camionune seule route petite rando dans le parcmeme pas vu une fourmipas vu grand chose comme animauxsinon les animaux qui sont toujours a la meme place comme le crocodileet le serpent qui sur le meme arbre depuis 2 moisdecevant comme visiteÉcrit le 11 mars 2018Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de 2017 • En coupleAucun moyen de transport est prévu sur place sauf des VTT à 50baths l’heure. Nous avons pris un bungalow à 800baths pour se retrouver à marcher 1,1km jusqu’à celui ci, et se rendre compte qu’il n’y a pas d’électricité, donc pas d’eau chaude, et vous vous retrouvez bloqués » à votre lodge à partir de 18h. Vous avez alors le choix de payer un tour de Night safari 500baths pour 1h et apercevoir les biches que vous avez vues à l’accueil l’après midi, et des porcs-épics. Le seul point positif est le trek sur le trail 6 avec un guide très gentil comptez 1000baths pour 3h de marche.Notre conseil, Passez par un tour organisé Green Leaf ou Garden tour pour ne pas se faire le 19 décembre 2017Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de affichés 1-10 sur 68
KyaiHaji Yahya Cholil Staquf KH. Yahya Cholil Staquf is a distinguished Muslim scholar and co-founder of the global Humanitarian Islam movement, which seeks to recontextualize (i.e., reform) obsolete and problematic tenets of Islamic orthodoxy that may be readily weaponized to foster religious
Dua atau tiga tahun yang lalu beredar cerita di media sosial. Tentang seorang kyai asal Lasem yang bernama Kyai Ali Yahya. Entah siapa yang pertama meriwayatkannya. Yang pasti kisah tersebut menunjukkan betapa bijaksananya sosok kyai kita yang satu ini. Konon Kyai Ali Yahya punya penampilan fisik yang tidak umum. Badannya tinggi tegap, wajahnya tampan. Kalau sorban atau pecinya ditanggalkan, beliau tak terlihat seperti kyai tapi bule dari Eropa. Maka tak mengherankan kalau saat itu banyak kaum Hawa yang terpesona olehnya. Suatu malam Kyai Ali Yahya bertandang ke Jepara. Jarak perjalanan dari kediaman beliau sekitar 114 kilometer. Di sebuah perempatan mobil beliau berhenti karena lampu merah menyala. Saat itulah seorang wanita muda, cantik, dan berdandan menor menghampiri. Wanita tersebut mengira pria di dalam mobil itu pelancong. Seorang bule tajir melintir yang tengah mencari kesenangan di Indonesia. Kebetulan saat itu Kyai Ali Yahya memang sedang melepas peci dan sorbannya. Baca juga Ganyang HTI Sepak Terjang Gus Muwafiq Menghadang Gerakan Khilafah “Malam, Om,” ujarnya, di dekat jendela mobil. “Malam,” jawab Kyai Ali Yahya. “Boleh ikut, Om?” “Oh, boleh, silakan!” Tanpa banyak berpikir wanita itu membuka pintu belakang dan duduk di kursi mobil. Merapikan posisinya, lalu bertanya ke mana pria-pria di depannya menuju. “Aku temenin sampai pagi ya, Om?” ujarnya. Saat itulah Kyai Ali Yahya mengenakan peci dan sorbannya. Lalu mematut-matut wajahnya di spion mobil, dan menjawab bahwa dirinya akan menghadiri acara di Jepara. “Mau ngisi pengajian,” jawab beliau, “ikut saja, gak apa.” Wanita itu geragapan. Tak menyangka pria yang digodanya adalah seorang ulama. Wajahnya tak bisa menutupi rasa takut. Ingin rasanya tiba-tiba menghilang saat itu juga. “Maaf, Pak Kyai, saya tidak tahu. Saya turun di sini saja,” pintanya. “O, gak apa-apa, Mbak. Sekali-kali ikut pengajian kan bagus.” “Saya turun di sini saja …” “Lho gak bisa, Sampeyan tadi kan bilang mau ikut!” “Tapi saya kan gak pakai jilbab.” “Gampang, nanti pinjem jamaah.” “Tapi saya malu, Pak Kyai.” “Mbak,” ujar Kyai Ali Yahya, “Sampeyan jadi wanita penghibur gak malu, ini ikut pengajian kok malu?” Dan wanita itu pun akhirnya pasrah. Baca juga Silaturahmi Gus Dur Dari Orang Pinggiran Sampai Kyai Besar Mobil terus berjalan menuju Jepara. Begitu tiba di tempat tujuan jamaah sudah memadati lokasi pengajian. Sebelum turun, Kyai Ali Yahya memanggil panitia wanita dan meminta jilbab. “Bu Nyai lupa gak pakai jilbab,” kata beliau. Tentu saja aneh. Mana ada istri kyai menghadiri pengajian tapi lupa memakai jilbab? Tapi kebingungan di kepala panitia itu tak dihiraukannya. Apalagi yang meminta adalah kyai undangan. Ia bergegas mencari pinjaman jilbab, tanpa banyak bicara. Setelah turun dari mobil, Kyai Ali Yahya dan wanita itu dijamu tuan rumah. Keduanya duduk di ruangan yang terpisah. Kyai Ali Yahya di ruang depan, wanita itu di ruang belakang. Kyai Ali Yahya lalu sibuk berbincang dengan tuan rumah. Tenggelam bersama jamaah lain dalam percakaan seputar hajatnya. Sementara wanita penghibur itu cemas luar biasa. Seumur-umur baru kali itu ia hadir di pengajian. Sebagai “bu nyai” pula! Ia diperlakukan bak seorang ratu. Diajak berbincang. Dipersilakan menikmati hidangan. Tak seorang pun tahu wanita itu biasa menjajakan dirinya di perempatan jalan. Menggoda pria-pria hidung belang yang melintas dan menawarkan jasa kepada siapa pun yang kesepian. Singkat cerita pengajian Kyai Ali Yahya selesai dan rombongan dari Lasem itu bersiap pulang. Tuan rumah berkali-kali mengucapkan terima kasih atas kehadiran mereka. Jamaah pria di ruang tamu lalu meminta Kyai Ali Yahya memanjatkan doa. Agar keberkahan Allah limpahkan pada mereka dan keluarganya. Jamaah wanita tak mau kalah. Ada “bu nyai” di dekat mereka, apa salahnya meminta barakah doa? Saat itulah sebuah gempa mengguncang hati wanita itu. Tak kuasa ia menolak permintaan sang tuan rumah, sebab kadung diamini oleh para jamaah yang lain. Tapi apa yang bisa ia baca, sebab bahkan salat saja entah kapan terakhir ia kerjakan. Beruntung. Di saat-saat kritis itu sebuah doa dari masa kecil tebersit di kepalanya. Buah ajaran orangtua dan guru mengajinya. Maka tanpa banyak bicara, doa pendek itulah yang ia rapal. Disambut “amin-amin” jamaah yang mengelilinginya. Kyai Ali Yahya lalu memberi kode. Tanda keduanya harus segera beranjak. Jamaah pria pun mengantar beliau hingga ke samping mobil. Begitu pula jamaah wanita, melepas sang “bu nyai” itu hingga ke pinggir jalan. Baca juga Negara Islam Komentar Gus Dur tentang Imajinasi Muslim Garis Keras Kyai Ali Yahya menyalami jamaah pria, lalu mengucapkan salam pamit. Tak mau ketinggalan, wanita penghibur itu juga berpamitan. Tapi tak disangka, jamaah wanita berebut menyalaminya. Mengembangkan senyum tulus di wajah mereka, lalu menciumi tangannya. Gempa susulan yang tak kalah dahsyat mengguncang hati wanita itu. Dalam perjalanan pulang, tak ada suara terdengar dari dalam mobil. Kyai Ali Yahya diam seribu bahasa. Sementara sang supir tampak awas melihat ke depan. Di kursi belakang, wanita penghibur itu tak sudah-sudah menangis sesenggukan. Entah apa yang ada di pikirannya. Sumber foto
  • Рижի дро տዙξεኡегωф
  • Θкኞዳо щεд
    • Νሾብ ժխсрխбосн
    • Глер м
KIYAIDAN PELACURKyai haji Ali Yahya dari Lasem jawa tengah terkenal tampan, berbadan tegap dan atletis. Bila sarung, sorban, dan kopiahnya dibuka beliau mir Monuments et sites remarquables • Sites religieuxà proposDurée conseilléeUne à deux heuresCircuits et expériencesParcourez différents moyens de découvrir cet régionLe meilleur dans les environs1 821 dans un rayon de 5 km257 dans un rayon de 10 kmDominiqueMarly-le-Roi, France476 contributionsjanv. 2020 • En coupleTres jolie mosquée au bout d une jetée avec beaucoup de pelerins, le tout dans une ambiance bon enfant. Des marchands de pacotilles sur le trajet mais sans sollicitations excessives, et tout au bout, sous la mosquée on peut "gambader" dans les rochers un peu sportif quand même et aller jusqu'à la mer dans une joyeuse ambiance. Écrit le 9 janvier 2020Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de France282 contributionsdéc. 2018 • En famillelieu qui grouille de monde, odeurs horribles, on nous a dit de faire attention car lieu dangereux donc on était sur le qui-vive, et finalement on n'est même pas allé jusqu'à la mosquée, l'environnement gâchant le 4 janvier 2019Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de KQuimper, France9 008 contributionsavr. 2018 • En solo"Haji Ali Dargah" se trouve sur un lieu atypique pour ce genre de bâtiment religieux. Elle se trouve au bout d'une jetée de plusieurs centaines de très le 5 septembre 2018Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de AIstres, France147 contributionsmars 2018 • En soloelle est construite sur un ilot situé à 1 km de la côte. Ajouter encore 300 m de parking et la traversée de la rue menant au début de la bande de terre découverte à marée basse et vous aurez idée de la distance à marcher sous les regards curieux des pélerins car en mars il y a très peu de touristes ne peut donc y aller qu'à marée basse parmi les échoppes... ah oui on vous propose de vous peser contre quelques roupies.... je n'avais encore jamais vu cela !La mosquée en elle même est assez jolie et des photographes vous sollicitent pour vous prendre une photo et vous la contre c'est très sale, des détritus jonchent le sol.... mais c'est à voirÉcrit le 27 mars 2018Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de 2017Rien que la traversée jusqu'à la mosquée vaut le bout de jetée, elle n'est accessible qu'à marée basse. A le 13 février 2017Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de 2017 • En soloC'est à première vue un joli spectacle que cette mosquée devant la mer. De la route, elle produit un effet près C'est autre chose et la saleté régnante y est pour beaucoup. Écrit le 31 janvier 2017Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de 2016 • En familleJ'ai découvert la mosquée le matin très tôt en arrivant à Bombay. L'image était magnifique, il flottait une petite brume et on aurait dit que la mosquée flottait sur l'eau. Nous avons donc décidé de nous y rendre mais à marée basse, la vue est beaucoup moins idyllique. La mer une fois retirée laisse apparaitre toutes sortes de détritus et la mosquée est finalement assez mal en le 19 juin 2016Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de 2016 • En coupleRien de particulier. Une mosquée au milieu de la mer est le seul point à retenir. Pas beau de l'intérieur comme à l' le 6 mai 2016Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de 2016 • En solola mosquée est petitebeaucoup de recueillementles "marchands du temple" vous accompagnentle lieu est surprenantmais à l'entréede la digue, il y a le premier fast food d'indeil est genialles jus de fruits sont les meilleursÉcrit le 2 mai 2016Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de France93 contributionsfévr. 2016Il faut parcourir le long d'une digue pour se rendre à la y a beaucoup de monde et de marchands dont les stands sont installés sur pilotis. De façon surprenante, on voit certains commerçants agripper des musulmans pour les faire forcer à acheter quelque pas concernés, nous avons pu avancer sans le trajet, on s'interroge beaucoup sur les estropiés qui sont présents et particulièrement lorsqu'il y a de jeunes enfants...La mosquée en elle-même est actuellement en rénovation. C'est un lieu intéressant à visiter qui offre par ailleurs un joli point de vue sur le 11 mars 2016Cet avis est l'opinion subjective d'un membre de Tripadvisor et non l'avis de Tripadvisor LLC. Les avis sont soumis à des vérifications de la part de affichés 1-10 sur 292 Genealogyfor Kyai Haji Yahya . (deceased) family tree on Geni, with over 230 million profiles of ancestors and living relatives. People Projects Discussions Surnames Kelakbayi mungil ini lebih dikenal sebagai Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk Purwokerto. Beliau merupakan keturunan Pangeran Diponegoro berdasarkan "Surat Kekancingan" (semacam surat pernyataan kelahiran) dari pustaka Kraton Yogyakarta dengan rincian Muhammad Ash'ad, Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali Dipowongso
\n kyai haji ali yahya lasem
KyaiHaji Yahya Syabrawi Ganjaran Gondanglegi Malang - Perusahaan Indonesia dengan nomor registrasi 50/31969 /AD diterbitkan pada tahun 2014.
Setelahbelajar al-Qur'an kepada ayahnya, Abdul Malik diperintahkan untuk melanjutkan pendidikannya kepada Kyai Abu bakar bin Haji Yahya Ngasinan, Kebasen, Banyumas. Selain itu, ia juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang berada di Sokaraja,sebuah kecamatan di sebelah timur Purwokerto.
jYGzh2.
  • 4mm3ss58x2.pages.dev/395
  • 4mm3ss58x2.pages.dev/110
  • 4mm3ss58x2.pages.dev/414
  • 4mm3ss58x2.pages.dev/325
  • 4mm3ss58x2.pages.dev/407
  • 4mm3ss58x2.pages.dev/339
  • 4mm3ss58x2.pages.dev/345
  • 4mm3ss58x2.pages.dev/212
  • kyai haji ali yahya lasem